Putu bambu (atau di beberapa daerah sering pula disebut putu bumbung) adalah kudapan tradisional Jawa yang terbuat dari campuran tepung beras dan parutan kelapa yang dikukus di dalam cetakan bambu silindris (dari cetakan bambu/bumbung inilah nama putu bambu/putu bumbung berasal), lalu di tengahnya diberi potongan gula merah, dan setelah matang di atasnya diberi taburan kelapa parut.
Rasanya gurih dengan sedikit “kejutan” rasa manis ketika gula merahnya tergigit. Paling nikmat disantap selagi hangat dengan ditemani secangkir teh tawar hangat. “Pokoke maknyus,” kalau kata mendiang Pak Bondan.
Umumnya kue putu dijajakan dari sore hingga malam hari. Ada yang dijual di gerobak-gerobak dorong yang mangkal menetap di satu lokasi (biasanya penjualnya juga berjualan cenil, gatot, dan jajanan pasar lainnya), ada pula kue putu yang dijajakan dengan cara dipikul berkeliling dari kampung ke kampung.
Nah, kue putu yang dijajakan berkeliling kampung inilah yang punya satu penanda khas yang hanya digunakan untuk menjajakan kue putu, yakni: seruling. Ya.
Karena kue putu ini baru dimasak/dikukus ketika ada pembeli (tepung berasnya sebetulnya sudah matang, btw. Kue putu dikukus dalam cetakan bambu hanya untuk menghangatkan campuran tepungnya sehingga lebih lembut ketika disantap serta untuk melumerkan potongan gula merahnya), maka si penjual pun berkeliling sembari memikul kompor dan kukusan (kukusan bikinan sendiri dari kaleng bekas minyak goreng yang diberi beberapa lubang di atasnya) ke mana-mana. Dan ini… berat. Beneran.
Karena si penjual sudah kepayahan berkeliling memikul segenap perangkat per-putu-an ke mana-mana, maka ia tidak akan lagi sanggup meneriakkan “putuuu!!” di sepanjang jalan yang dilaluinya. Dan ini problematik! Kalau dia tidak berteriak menjajakan dagangannya, maka para (calon) tidak akan menyadari keberadaannya. Sedangkan kalau dia masih harus lagi berteriak “putuuu!!” napasnya sudahnya ngos-ngosan.
Maka… AHA! diciptakanlah piranti “pemanggil pelanggan” yang berupa seruling.
“Nguuunngg!!” Seperti itu suaranya. Khas melengking tinggi dan panjang. Alat do-it-yourself sederhana dengan memanfaatkan aliran uap panas dari air kukusan yang mendidih, yang sejatinya fungsinya adalah untuk memasak kue putunya nanti ketika ada orang yang mau beli.
“Iso ndomble lambeku lek aku dhewe sing nyebul sulinge, Mas (jv: bibir saya bisa bercabang lima kalau harus meniup sendiri serulingnya —Red.),” ujar Pak Agung Putu, penjual putu bambu pikulan yang saya temui siang itu.
Selain berfungsi sebagai penanda ada penjual kue putu yang lewat, suara “ngung” dari serulingnya itu sendiri juga bisa digunakan sebagai penanda apakah kue putunya sedang ada yang beli atau tidak. Kalau kita mendengar ada suara “ngung” seruling putu, lalu tiba-tiba suara itu menghilang, nah, itu tandanya sedang ada tetangga yang membeli kue putu.
Dan kalau kita sebetulnya juga ingin beli kue putu dan sedang menunggu dia lewat di depan rumah, maka tinggal dikira-kira saja tadi suaranya terakhir terdengar di sebelah mana? Apakah Barat? Utara? Barat Daya? Tinggal diinterpolasi saja untuk menentukan koordinat titik berhentinya. Canggih, bukan?
Selain itu, kalau dagangan putunya sudah ludes, secara etika si penjual putu dilarang keras untuk membunyikan serulingnya. Karena kalau di jalan pulang dia tetap membunyikan serulingnya, dia bisa dianggap sedang php (pemberi harapan palsu —Red.).
Tapi tentu kadang ada saja oknum pedagang putu yang nakal. Malam-malam di jalan pulang karena dagangan kue putunya sudah habis, dia tetap saja berjalan sembari membunyikan seruling putunya.
Ketika ada (calon) pembeli yang terlanjur mencegat tapi ternyata kena php, dan sambil bersungut-sungut dia (calon pembeli) bertanya mengapa dia (oknum pedagang putu nakal) tetap membunyikan serulingnya padahal putunya sudah habis, maka si oknum tersebut pun menjawab: "daripada sepi di jalan pulang sendirian malam-malam, ya saya nyalakan saja serulingnya.
Kalau Mas-nya punya kendang kulit lembu, ayo keluarkan sekalian. Kita dangdutan!?"
“Itu kalau serulingnya seruling bambu, kendangnya kulit lembu! Iramanya Melayu, duhai sedap sekali. Serulingmu seruling putu!” saya tidak bisa menahan emosi.
“Ih, Mas-nya sensi!? Ga asyik, ah. Yuk, daahh…”
Si pedagang putu-pun dengan santainya berlalu, sembari tetap membunyikan seruling putunya.
Nguunngg…!!
———————
NB: Putu bambu ini bisa Anda dapati mangkal di sekitar [Pasar Semi Modern Karangploso](http://Karangploso Semi Modern Market Jalan Panglima Sudirman No.3, Girimoyo, Karangploso, Girimoyo, Kec. Karang Ploso, Malang, Jawa Timur 65152 https://maps.app.goo.gl/TSSCor8ZB46q7Fkb9) jika Anda beruntung :))