Putu Bambu #monthlytopic December 2019

Putu bambu (atau di beberapa daerah sering pula disebut putu bumbung) adalah kudapan tradisional Jawa yang terbuat dari campuran tepung beras dan parutan kelapa yang dikukus di dalam cetakan bambu silindris (dari cetakan bambu/bumbung inilah nama putu bambu/putu bumbung berasal), lalu di tengahnya diberi potongan gula merah, dan setelah matang di atasnya diberi taburan kelapa parut.

Rasanya gurih dengan sedikit “kejutan” rasa manis ketika gula merahnya tergigit. Paling nikmat disantap selagi hangat dengan ditemani secangkir teh tawar hangat. “Pokoke maknyus,” kalau kata mendiang Pak Bondan.

Umumnya kue putu dijajakan dari sore hingga malam hari. Ada yang dijual di gerobak-gerobak dorong yang mangkal menetap di satu lokasi (biasanya penjualnya juga berjualan cenil, gatot, dan jajanan pasar lainnya), ada pula kue putu yang dijajakan dengan cara dipikul berkeliling dari kampung ke kampung.

Nah, kue putu yang dijajakan berkeliling kampung inilah yang punya satu penanda khas yang hanya digunakan untuk menjajakan kue putu, yakni: seruling. Ya.

Karena kue putu ini baru dimasak/dikukus ketika ada pembeli (tepung berasnya sebetulnya sudah matang, btw. Kue putu dikukus dalam cetakan bambu hanya untuk menghangatkan campuran tepungnya sehingga lebih lembut ketika disantap serta untuk melumerkan potongan gula merahnya), maka si penjual pun berkeliling sembari memikul kompor dan kukusan (kukusan bikinan sendiri dari kaleng bekas minyak goreng yang diberi beberapa lubang di atasnya) ke mana-mana. Dan ini… berat. Beneran.

Karena si penjual sudah kepayahan berkeliling memikul segenap perangkat per-putu-an ke mana-mana, maka ia tidak akan lagi sanggup meneriakkan “putuuu!!” di sepanjang jalan yang dilaluinya. Dan ini problematik! Kalau dia tidak berteriak menjajakan dagangannya, maka para (calon) tidak akan menyadari keberadaannya. Sedangkan kalau dia masih harus lagi berteriak “putuuu!!” napasnya sudahnya ngos-ngosan.

Maka… AHA! diciptakanlah piranti “pemanggil pelanggan” yang berupa seruling.

“Nguuunngg!!” Seperti itu suaranya. Khas melengking tinggi dan panjang. Alat do-it-yourself sederhana dengan memanfaatkan aliran uap panas dari air kukusan yang mendidih, yang sejatinya fungsinya adalah untuk memasak kue putunya nanti ketika ada orang yang mau beli.

“Iso ndomble lambeku lek aku dhewe sing nyebul sulinge, Mas (jv: bibir saya bisa bercabang lima kalau harus meniup sendiri serulingnya —Red.),” ujar Pak Agung Putu, penjual putu bambu pikulan yang saya temui siang itu.

Selain berfungsi sebagai penanda ada penjual kue putu yang lewat, suara “ngung” dari serulingnya itu sendiri juga bisa digunakan sebagai penanda apakah kue putunya sedang ada yang beli atau tidak. Kalau kita mendengar ada suara “ngung” seruling putu, lalu tiba-tiba suara itu menghilang, nah, itu tandanya sedang ada tetangga yang membeli kue putu.

Dan kalau kita sebetulnya juga ingin beli kue putu dan sedang menunggu dia lewat di depan rumah, maka tinggal dikira-kira saja tadi suaranya terakhir terdengar di sebelah mana? Apakah Barat? Utara? Barat Daya? Tinggal diinterpolasi saja untuk menentukan koordinat titik berhentinya. Canggih, bukan?

Selain itu, kalau dagangan putunya sudah ludes, secara etika si penjual putu dilarang keras untuk membunyikan serulingnya. Karena kalau di jalan pulang dia tetap membunyikan serulingnya, dia bisa dianggap sedang php (pemberi harapan palsu —Red.).

Tapi tentu kadang ada saja oknum pedagang putu yang nakal. Malam-malam di jalan pulang karena dagangan kue putunya sudah habis, dia tetap saja berjalan sembari membunyikan seruling putunya.

Ketika ada (calon) pembeli yang terlanjur mencegat tapi ternyata kena php, dan sambil bersungut-sungut dia (calon pembeli) bertanya mengapa dia (oknum pedagang putu nakal) tetap membunyikan serulingnya padahal putunya sudah habis, maka si oknum tersebut pun menjawab: "daripada sepi di jalan pulang sendirian malam-malam, ya saya nyalakan saja serulingnya.

Kalau Mas-nya punya kendang kulit lembu, ayo keluarkan sekalian. Kita dangdutan!?"

“Itu kalau serulingnya seruling bambu, kendangnya kulit lembu! Iramanya Melayu, duhai sedap sekali. Serulingmu seruling putu!” saya tidak bisa menahan emosi.

“Ih, Mas-nya sensi!? Ga asyik, ah. Yuk, daahh…”

Si pedagang putu-pun dengan santainya berlalu, sembari tetap membunyikan seruling putunya.

Nguunngg…!!
———————

NB: Putu bambu ini bisa Anda dapati mangkal di sekitar [Pasar Semi Modern Karangploso](http://Karangploso Semi Modern Market Jalan Panglima Sudirman No.3, Girimoyo, Karangploso, Girimoyo, Kec. Karang Ploso, Malang, Jawa Timur 65152 https://maps.app.goo.gl/TSSCor8ZB46q7Fkb9) jika Anda beruntung :))

48 Likes

Halo @iorikun301 ,

Ini sangat enak, apalagi jika menikmatinya selagi masih panas. Apakah kamu punya tempat favorit untuk menikmati putu bambu?

Selain putu bambu, untuk jajanan tradisional saya sangat suka lupis dan juga klepon!

3 Likes

Wew enak nih… Jadi pingin deh

1 Like

Hai, @AngieYC !

Wah, ternyata suka juga, ya, dengan makanan tradisional seperti ini? Tapi pastinya di Amerika tidak ada!? Hahaa…

Lupis, klepon, dan putu memang jenis makanan yang kompak. Mereka hampir selalu dijual bersamaan. Penjual lupis dan klepon biasanya pasti juga berjualan putu. Tapi penjual putu belum tentu menyediakan lupis dan klepon. Ga tahu kenapa bisa begitu. Hahaa…

Kalau di Malang, Jawa Timur, ada satu warung penjual kue putu (dan beberapa ragam jajanan pasar lainnya) favorit. Namanya Puthu Lanang .

Dia hanya buka di malam hari, di ujung gang kecil, dan sudah berjualan sejak lamaaaa sekali. Pembelinya selalu antre panjang (karena memang enak dan legendaris), dan penjualnya punya daya ingat yang luar biasa. Kalau @AngieYC kapan-kapan mampir ke Malang, boleh dicoba. Hahaa…

NB: Sepertinya teman-teman yang ke Connect Live kemarin senang sekali akhirnya bisa ketemu @AngieYC . Hahaa

2 Likes

Iya. Ternyata lumayan enak, Mbak @HappyDyah . Padahal random aja beli yang kebetulan lewat. Hahaa…

2 Likes

Hallo mas @iorikun301

senang sekali bisa membahas kue PUTU dengan ciri khas suara yang dikeluarkan dan gula merah ditengahnya, sewaktu jaman SD harganya Rp. 500,- dan sekarang bervariasi harganya kalau di tempat yang agak modern satuannya bisa Rp.2500,- sedang yang abang keliling lebih murah,

Apalagi dimakannya pas lagi panas panasnya baru dikeluarin dari bambunya, gula merah lumer panas di lidah kita :slightly_smiling_face:

4 Likes

Hai, Mas @360bymiftah .

Dari jaman saya kecil juga suka beli makanan ini.

Ini kue putunya per buah Rp600,-. Tidak terlalu banyak berubah ketimbang kue putu di jaman kecil dulu. Cuman kue putu yang sekarang ini ukurannya sudah jauh berkurang. Tabung bambunya tidak diisi sampai penuh. Yah, namanya apa-apa sekarang sudah mahal.

Selain putu, kue yang juga seru ketika dimakan itu kue klepon. Tapi yang warnanya hijau, bukan yang merah. Klepon abang. Hahahaa… EH :smile_cat: :smile_cat:

3 Likes

Kue ini enak, apalagi di makan waktu masih hangat. Sayang di sini jarang sekali yang jualan.

1 Like

Betul, Kak @Siutari . Kue putu memang terasa paling nikmat ketika disantap hangat-hangat. Terlebih ketika malam atau ketika hari hujan. Uuhh… nikmaatt!!

Memangnya Kak @Siutari dari kota mana, kok jarang yang jual kue ini?

3 Likes

Saya di banjarbaru kalsel. Ada sih yang jual tapi juarang banget ketemu. Penjualnya cuma 1.

4 Likes

Halo @iorikun301 ,

Sudah di simpan nama tempatnya dan pasti akan dicoba, jika ada kesempatan berkunjung ke Kota Malang.

Saya juga sangat senang akhirnya bisa bertemu dengan teman-teman dari Indonesia di Event Connect Live bulan lalu!

2 Likes

Ciri khas kue putu tuh klo lewat ada suaranya yg khas.

Nahh ini tiap malam sering lewat depan rumah, jadi jarang beli karena tiap hari lewat, mungkin klo jarang-jarang lewat sering beli … @iorikun301

3 Likes

Anda benar, Kak @Nita_IND . Suara seruling menjadi ciri khas penjual kue putu. Konon, mereka menggunakan seruling ini awalnya sebagai hiburan ketika berkeliling menjajakan kue ini. Daripada sepi, mending uapnya dibuat main-mainan seperti itu. Hehee… konon demikian :))

1 Like

Hai mas @iorikun301 , salam dari tempat yang tidak jauh dari kota Malang.

Menarik sekali postingan anda tentang putu bambu, salah satu penganan kesukaan saya juga. Kalau di tempat langganan saya, di Blitar, kue putu dijual 5 ribuan dapat 5 biji. Tapi tidak boleh beli dibawah 5 ribu tadi.

Sudah di kombinasi dengan daun pandan. Sehingga kue putu berubah warnanya menjadi hijau pandan dan harum semerbak bau pandan. Memancing nafsu makan, membuat. lapar mendadak apalagi saat hujan rintik2.

4 Likes

Hai, Kak @Widyapramana .

Wah, dari Blitar, ya? Tetangga tidak jauh. Hahaa…

Iya, nih, putu bambu begini memang enak. Apalagi kalau dimakan pas masih panas. Wuidiiihh…

Kalau ini per porsi Rp6.000,- isi 10. Belinya kalau satuan juga tidak bisa. Gak sumbut ngukus e!? Hahaa…

Makasih sudah mampir :))

3 Likes

Sama sama … :slightly_smiling_face:

3 Likes

Wah mantap nich @iorikun301 .

Putu salah satu makanan kesukaan saya.

Dimanapun juga suara peluit penjual putu yang bikin kangen.

Apalagi sambil nonton penjualnya meracik putu, jari jemari dan tangannya lincah meracik bahan putu, gula Jawa yang ditata rapi didalam laci - laci yang mungil.

Parutan kelapa dan wangi daun pandan.

Paling nikmat adalah ketika saya tugas di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Ada seorang pedagang yang menjual disana.

wah rasanya bikin kangen kampung halaman.

Keep calm, stay healthy and always be happy.

1 Like

Makanan kampung halaman di kampung orang memang selalu berkesan, Pak @BudiFXW

Mangkanya ada orang yang pernah berkata “kita musti pergi untuk bisa pulang, Tuan.”

Mungkin… :smiling_face::smiling_face:

1 Like

Keren @iorikun301 .

Betul sekali, kita tidak akan pernah mencintai kampung halaman kalau belum pernah merantau dan merasakan rindu akan kampung halaman namun tidak bisa pulang karena harus menyelesaikan tugas atau berat di ongkos.

Keep calm, stay healthy and always be happy.