Ada perjalanan yang bukan sekadar memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat lain. Ada perjalanan yang membuka ruang di dalam dada : membangunkan rasa syukur, menyentuh sisi terdalam diri, dan mengingatkan bahwa hidup selalu lebih luas dari apa yang tampak sehari-hari.
Pendakian ke Gunung Kawah Ijen di Banyuwangi adalah salah satu perjalanan itu.
Tidak ada yang benar-benar siap untuk kesyahduan yang ditawarkan Ijen. Meskipun sudah sering melihat foto atau mendengar cerita orang lain, ketika kaki benar-benar melangkah di jalur pendakiannya, ketika udara dingin subuh menusuk kulit, ketika aroma belerang tercium pertama kali ; segalanya terasa berbeda. Lebih nyata. Lebih jujur. Lebih menyentuh hati.
Pendakian ke Ijen biasanya dimulai sekitar pukul 02.00–03.00 dini hari. Dari area parkir, udara dingin langsung menyambut. Lembut tetapi tajam. Seolah alam ingin menguji niat para pendaki: apakah benar-benar siap untuk langkah panjang menuju puncak?
Di basecamp tersedia warung kecil, toilet, serta area tunggu sederhana. Tidak banyak, namun cukup untuk mempersiapkan diri. Sambil menyesap minuman panas atau memeriksa perlengkapan, kita bisa melihat lampu-lampu pendaki lain yang mulai bergerak di kejauhan. Ada yang berpasangan, ada yang berkelompok, ada juga yang sendirian. Tetapi semuanya bergerak dengan harapan yang sama: bertemu keindahan Ijen sebelum matahari terbit.
Trek menuju puncak Kawah Ijen terkesan sederhana, tetapi jangan tertipu. Jalur sepanjang hampir 3 km ini menanjak konsisten, membuat napas harus diatur hati-hati. Setiap tanjakan seperti percakapan antara tubuh dan tekad:
“Lelah?”
“Tapi kau sudah sejauh ini… lanjut.”
Lampu-lampu senter menari di sepanjang jalur seperti kunang-kunang kecil. Suasana mistis namun indah. Setiap langkah membawa kita lebih tinggi, lebih dekat ke puncak, dan entah bagaimana, lebih dekat juga pada diri sendiri.
Di sepanjang perjalanan terdapat beberapa tempat untuk beristirahat, namun suasana gelap subuh membuat semuanya terasa tenang.
Puncak Kawah Ijen membuka diri tepat ketika langit mulai memudar dari hitam ke biru. Cuacanya cerah, bintang-bintang perlahan hilang, dan udara terasa sedikit lebih hangat. Namun sesampainya di bibir kawah, asap belerang menyergap tajam.
Baunya pekat dan menusuk hidung, mengingatkan bahwa Ijen bukan tempat biasa. Ini adalah bukti kekuatan bumi, tempat di mana manusia seolah hanya menjadi tamu yang harus menghargai aturan alam.
Masker menjadi penyelamat, namun tetap saja ada beberapa momen ketika angin membawa asap terlalu dekat. Di situ kita belajar bahwa keindahan kadang datang dengan batas yang harus dihormati.
Salah satu alasan banyak pendaki datang subuh adalah fenomena Blue Fire ; api biru alami yang langka. Namun kali ini, Blue Fire tidak terlihat karena kondisi cuaca dan kepulan asap.
Ada sedikit rasa kecewa, tentu saja. Kita datang jauh-jauh, bangun dini hari, mendaki dalam dingin, berharap pada momen langka yang tidak muncul. Tetapi bukan tanpa pelajaran…
Kadang, apa yang kita kejar tidak selalu hadir.
Namun alam tetap memberi keindahan dalam bentuk lain.
Dan mungkin, ketidakhadiran itu justru menjadi alasan untuk kembali lagi.
Saat matahari akhirnya naik, cahaya keemasan menabrak kabut tipis dan perlahan menyingkap pemandangan yang membuat dada menghangat: danau kawah berwarna biru kehijauan yang sangat luas, dalam, dan megah.
Warnanya seolah tidak nyata ; terlalu indah bahkan untuk disebut sekadar “pemandangan”.
Angin pagi berhembus pelan, membawa aroma belerang yang samar namun tidak mengganggu. Pendaki saling terdiam, sibuk memotret atau hanya memejam, seakan ingin mengunci momen indah ini di dalam hati.
Di titik ini, seluruh rasa lelah seperti menguap.
Semua perjalanan menjadi layak.
Semua tenaga terbayar lunas.
Kawasan Ijen memiliki:
-
Area parkir yang luas
-
Toilet dan warung-warung kecil
-
Pos pendakian yang tertata
Tidak mewah, tetapi cukup. Dan mungkin memang pendakian tidak membutuhkan kemewahan. Justru kesederhanaan seperti inilah yang membuat perjalanan terasa lebih tulus.
Perjalanan turun terasa lebih cepat, cuaca cerah, langit biru, tetapi menyisakan rasa hangat yang sulit dijelaskan. Setiap langkah seperti membawa pulang sesuatu:
-
ketenangan,
-
rasa syukur,
-
sekaligus keinginan untuk kembali lagi.
Ada magnet halus di Ijen, sebuah daya tarik yang tidak bisa dilukis dengan kata-kata. Mungkin karena keindahannya, mungkin karena kesunyiannya, atau mungkin karena Ijen seperti mengajak kita untuk berhenti sejenak dan benar-benar melihat diri sendiri.
Satu hal yang pasti:
Ijen bukan hanya tempat wisata. Ijen adalah perjalanan batin.
Dan suatu hari nanti, saya tahu saya akan kembali.
Untuk mengejar Blue Fire, atau sekadar duduk lagi di tepi kawah sambil merasakan angin pagi Banyuwangi menyentuh wajah.















