Halo, apa kabar?
Pagi tadi saya membeli sesuatu di pasar dekat rumah. Sebungkus makanan ringan yang amat populer di Indonesia. Rasa-rasanya tidak ada orang Indonesia yang belum pernah mencicipi makanan yang satu ini. Saya membeli kerupuk.
Kerupuk yang saya beli jenisnya kerupuk putih biasa. Atau beberapa orang kadang menyebutnya kerupuk kampung atau kerupuk mawar karena ketika dilihat dari atas bentuknya sekilas mirip mahkota bunga mawar.
Kerupuk memiliki ukuran yang bermacam-macam, bergantung pada pabrik kerupuknya itu sendiri mereka ingin membuat kerupuk yang sebesar apa. Tapi kerupuk yang saya beli ini ukurannya tidak terlampau besar. Hanya setelapak tangan saya saja. Harganya juga murah. Lima ribu rupiah bisa dapat satu kantung kresek berukuran sedang! Lumayan bisa untuk tiga hari.
Biasanya saya menyantap kerupuk sebagai lauk pendamping nasi. Karena rasanya seru saja, gitu, ketika sedang menyantap makanan tiba-tiba terdengar suara “krauk-krauk-krauk” saya sedang mengunyah kerupuk. Makan menjadi lebih meriah!
Kerupuk kampung seperti yang saya beli ini terbuat dari campuran tepung tapioka dan tepung kanji. Dan umumnya bumbu yang digunakan di dalam adonan kerupuk hanya bawang putih dan garam. Tapi tentu saja tiap-tiap pabrik kerupuk memiliki “bumbu rahasia” mereka sendiri. Ada yang menambahkan rajangan daun bawang atau pati ikan. Tapi, sstt, ini rahasia!
Walau penampilannya sederhana, tapi tahukah Anda bahwa untuk membuat kerupuk dibutuhkan waktu setidaknya 2 hari dari sejak masih berupa tepung hingga menjadi kerupuk siap santap seperti yang saya beli ini? Proses produksinya lama dan di kampung saya di Lawang, Jawa Timur, kerupuk merupakan industri kecil rumahan tapi padat karya. Nanti akan saya ceritakan alasannya.
Proses produksi kerupuk dimulai dari mencampurkan tepung tapioka, tepung kanji, dan bumbu-bumbu dengan air secukupnya lalu memasaknya di dalam kuali besar. Adonan ini diaduk, dan terus diaduk, seperti orang yang sedang membuat dodol atau jenang tradisional. Setelah adonan tepung mengental dan licin, adonan segera diangkat dan diletakkan di atas meja untuk diuleni.
Adonan kemudian ditaburi tepung tapioka banyak-banyak dan diuleni hingga kalis. Setelah kalis, adonan dipindah ke dalam mesin pres dan siap dicetak. Ketika mesin pres dinyalakan, dari pipa/lubang kecil di bagian bawah mesinnya akan muncul adonan kerupuk yang berubah menjadi seperti pasta kental yang tidak terputus. Nah, di sinilah pabrik kerupuk membutuhkan banyak pekerja.
Kerupuk dicetak (atau lebih tepatnya dibentuk) menjadi kerupuk secara manual satu per satu. Dengan menggunakan cetakan khusus kerupuk para pekerja menadahi adonan “pasta” kerupuk yang keluar dari mesin pres. Dengan memutar-mutar cetakan kerupuknya sedemikian rupa para pekerja mencetak kerupuk sesuai bentuk dan ukuran yang dikehendaki.
Bukan cuma berbentuk bundar, kerupuk juga bisa dicetak berbentuk kotak. Mau dicetak berbentuk hati juga bisa. Tapi nanti ketika dimakan, hatinya jadi patah, dong? Sedih.
Adonan kerupuk yang telah dicetak kemudian disusun di atas sebuah kukusan raksasa untuk dikukus selama kurang lebih 20 menit. Setelah dikukus, adonan kerupuk kemudian ditata di atas sebuah tatakan datar untuk selanjutnya dijemur di bawah terik matahari langsung selama setidaknya sehari penuh. Setelah benar-benar kering, kerupuk pun siap digoreng.
Agar mengembang sempurna, kerupuk harus melewati 2 kali proses penggorengan. Proses penggorengan pertama dilakukan di dalam penggorengan dengan minyak yang tidak terlalu panas.
Setelah beberapa saat kerupuk segera diangkat dan langsung dimasukkan ke dalam penggorengan di sebelahnya yang memiliki minyak yang jauh lebih banyak dan jauh lebih panas. Di proses penggorengan yang kedua inilah kerupuk akan mengembang secara seketika menjadi seukuran kerupuk normal. Benar-benar se-ke-ti-ka.
Setelah diangkat dan ditiriskan barulah kerupuk siap dikemas dan didistribusikan ke warung-warung makan, ke pasar-pasar tradisional, hingga langsung ke rumah-rumah pelanggan dengan menggunakan armada sepeda (motor). Sekali angkut armada sepeda ini sanggup membawa ratusan keping kerupuk yang harus habis dalam sehari.
Kalau tidak habis, bagaimana? Ya, tidak apa-apa. Kerupuk akan digoreng lagi sore harinya untuk dijual lagi besok pagi-pagi sekali. Saya senang kerupuk nget-ngetan (kerupuk sisa yang digoreng lagi) seperti ini karena kerupuknya menjadi lebih gosong. Tapi harganya tetap sama. Wkwkk…
Jadi seperti itulah cerita saya tentang kerupuk yang ada di kampung saya di Lawang, Jawa Timur. Panjang, ya? Padahal cuma kerupuk.
Terima kasih untuk Anda yang sudah membaca. Kita cerita-cerita lagi lain kali. Salam!
———————
TRIVIA:
Setiap pabrik kerupuk memiliki kaleng kerupuk (Jawa: blek) mereka sendiri yang digunakan eksklusif untuk kerupuk-kerupuk produksi mereka sendiri. Sekalipun memiliki bentuk serupa, namun kaleng-kaleng kerupuk dari pabrik berbeda memiliki merk kerupuk dan warna yang berbeda.
Alih-alih dari merknya, kerupuk lebih lebih sering diingat dari warna kalengnya. Kerupuk blek biru, kerupuk blek ijo, kerupuk blek pink. How you like that?