Halo, apa kabar?
Hari ini ketika saya pergi ke pasar tradisional di dekat rumah di Lawang, Jawa Timur, ternyata warung kue langganan saya tutup. Lalu sayapun pergi ke warung kue lain yang ada di dekatnya. Ternyata di sana saya mendapati ada kue tradisional Jawa yang saya suka sejak saya kecil. Saya membeli kue kucur. Atau beberapa orang menyebutnya kue cucur.
Kue kucur, atau cucur, adalah kudapan manis tradisional Jawa yang terbuat dari adonan tepung beras dan gula jawa (palm sugar) yang digoreng di dalam penggorengan cekung dengan sedikit minyak. Jika Anda mengenal kue panekuk (pancake), maka kue kucur ini, menurut saya, adalah panekuk versi orang Jawa.
Jika dilihat sekilas, adonan panekuk dan kue kucur sama-sama encer. Pun bentuknya setelah matang, sama-sama bulat. Cita rasanya juga sama-sama manis dan sama-sama paling nikmat ketika disantap sebagai menu sarapan. Atau setidaknya sebagai prekuel. Nanti di rumah makan lagi pakai nasi.
Cuma bedanya, alih-alih terbuat dari terigu-gula-telur-mentega, adonan kue kucur terbuat dari campuran tepung beras, sedikit tepung terigu, dan gula jawa yang telah dicairkan dengan air dan aromatik daun pandan. Yang kemudian alih-alih menggunakan penggorengan datar (pan), kue kucur digoreng menggunakan penggorengan cekung dengan minyak secukupnya. Adonannya dikucurkan langsung ke dalam penggorengan. Barangkali dari sinilah nama kue kucur berasal.
Penggunaan penggorengan cekung seperti ini membuat kue kucur memiliki bentuk yang tebal-kenyal pada bagian tengah namun tipis dan renyah di bagian pinggirannya. Hanya saja, penggunaan penggorengan cekung semacam ini bukan tanpa kelemahan.
Bagian tengah kue kucur yang tebal dan bagian pinggirannya yang tipis memiliki waktu pemasakan yang berbeda. Kalau kue kucur diangkat ketika bagian pinggirnya sudah matang, maka bagian tengahnya biasanya masih mentah. Diangkat ketika bagian tengahnya matang sempurna, maka bagian pinggirnya sudah gosong. Inilah dilema simalakama.
Tapi untungnya penjual-penjual kue zaman dulu punya satu solusi cergas (witty) atas problema ini: lubangi saja bagian tengahnya pakai tusuk sate, lalu putar-putar hingga adonan mentahnya keluar dan terkena minyak panas, maka kue kucur pun akan matang sempurna dari ujung ke ujung. Cergas, bukan? Simple yet smart.
Ketika disantap, kue kucur punya karakter rasa yang manis dan legit. Ini karena gula yang digunakan di dalam adonannya adalah gula jawa. Gula pasir (white sugar) ditambahkan sedikit saja sekadar untuk memperkuat rasa manis (gula jawa memang tidak semanis gula pasir tapi memiliki karakter rasa yang lebih kaya).
Umumnya kue kucur ditawarkan hanya dalam warna coklat, yang mana warna ini diperoleh dari warna alami gula jawa yang digunakan di dalam adonannya. Tapi itu dulu. Sekarang sudah banyak varian kue kucur yang ditawarkan dalam warna-warni yang lebih cerah. Hijau, misalnya. Atau mejikuhibiniu. Sebut saja. Tapi kalau kue kucurnya berwarna hitam, sepertinya, sih, itu cuma gosong.
Kebiasaan saya tiap kali hendak menyantap kue kucur adalah memeras kue ini kuat-kuat hingga seluruh sisa minyak yang ada di dalamnya terbuang. Tekstur kue kucur yang berongga membuat sisa minyak mudah terkunci di dalamnya. Bikin batuk.
Memang, dengan begini bentuk kue kucurnya menjadi tidak lagi artistik. Berantakan. Tapi percayalah, dengan kue kucur yang lebih kering seperti ini rasa manis, legit, dan renyahnya jadi makin kuat terasa. Kalau toh ada yang protes, ya tinggal beli lagi yang masih cantik. Kue kucur di pasar di dekat rumah saya di Lawang, Jawa Timur, dihargai seribu lima ratus rupiah saja sebuah (lho, kok mundhak?).
Terima kasih sudah membaca. Lain kali kita cerita-cerita lagi. Salam!
———————
TRIVIA:
Dalam upacara pernikahan adat Jawa, ada satu prosesi yang dinamakan kacar-kucur. Tapi prosesi ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kue kucur, kecuali kedua hal ini sama-sama bisa membuat orang tersenyum bahagia.