Halo, apa kabar?
Hari ini di rumah saya sedang tidak masak. Karena semalam ada saudara yang mengirimi saya masakan banyak sekali. Sangking banyaknya, untuk sarapan bahkan sampai nanti makan malam pun rasa-rasanya masih ada sedikit sisa. Lumayan, lah, ya, ngirit sehari.
Nama masakannya botok. Ini adalah sebutan untuk masakan tradisional berempah yang terbuat dari beragam sayur daun dan isian lainnya, yang kemudian dibungkus daun pisang dan dikukus. Kebetulan sayur botok yang dimasak oleh saudara saya ini terbuat dari daun singkong, kacang panjang, tahu-tempe, dan gremut (ebi/udang kering).
Di kampung saya di Lawang, Jawa Timur, botok merupakan hidangan yang amat populer. Selain karena orang bebas memasukkan jenis sayur daun dan isian lain sesuai selera (atau setidaknya sesuai dengan apa yang kebetulan ada di dapur atau pekarangan rumah), cara memasaknya pun tidak terlalu rumit. Cuma… lama.
Menandaskan sebungkus botok jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan membuat sebungkus botok hingga matang. Karena, kan, tidak mungkin kita memasak botok cuma sebungkus? Kalau kata saudara saya: ora sumbut. Not worthy! Membuat sebungkus botok dan sepuluh bungkus botok itu sama capeknya.
Yang pertama musti disiapkan di sini adalah bahan “isian” botoknya. Di sini saudara saya menggunakan daun singkong dan kacang panjang mentah yang dipotong-potong kecil, tempe dan tahu yang telah dipotong dadu dan dikukus, sedikit gremut yang telah dicuci bersih sebagai “highlight,” serta kelapa muda parut untuk menambah tekstur.
Untuk bumbu halusnya ia menggunakan bawang merah, bawang putih, kencur, lengkuas, dan cabai yang kesemuanya mentah. Ditambahkan pula gula dan garam secukupnya untuk perasa.
Setelah semua bahan “isian” dan bumbu halus siap, campurkan semua bahan hingga merata. Beberapa orang juga senang menambahkan sedikit santan agar botok lebih gurih. Kemudian bungkus dengan daun pisang dan semat dengan lidi yang telah diruncingkan ujungnya. Lalu kukus dengan api sedang hingga matang.
Mudah, bukan? Tapi betulan lama. Hahaa 555++
Ketika disantap, sayur botok memiliki karakter rasa yang gurih dan sedikit pedas yang khas karena bumbu-bumbu yang digunakan adalah bumbu segar yang tidak ditumis. Tekstur isiannya juga terasa lembut di lidah. Dan penggunaan daun pisang sebagai pembungkus membuat aroma botoknya menjadi lebih harum.
Beberapa orang juga suka menambahkan selembar daun salam segar sebagai aromatik. Tapi saya terkadang salah membedakan mana daun salam, mana daun jambu air. Bukannya jadi harum, malah saya merasa kayak sedang cosplay jadi ulat bulu pemakan daun jambu ?
Botok yang sudah matang juga mudah sekali diperoleh di pasar-pasar tradisional maupun di warung-warung makan. Harganya beragam sesuai isian yang digunakan. Botok yang bersahaja menggunakan sayur daun-daunan, sedang botok yang agak tidak biasa bisa menggunakan sarang lebah. Botok tawon.
Tak cuma di pasar, yang menjajakan botok berkeliling kampung dengan berjalan kaki juga ada. Biasanya botok-botoknya (dalam kuantitas kecil) ditempatkan di dalam keranjang bambu dan disunggi di atas kepala beserta daun singkong mentah, daun pepaya mentah, lamtoro mentah, hingga (kudapan) lepet. Saya pernah iseng meminta mengangkat keranjangnya. Dan ternyata: berat. Bayangkan ini diangkat di atas kepala.
Kalau Anda kebetulan bertemu dengan penjual botok keliling ini, belilah satu atau dua bungkus botoknya. Juga seikat-dua daun singkong atau pepayanya. Karena selain bisa membantu mengurangi beban yang musti ia sunggi, biasanya cuma sayur-sayuran daun mentah itulah yang sedang ada di pekarangan rumahnya.
Jadi begitulah cerita saya kali ini tentang botok kiriman dari saudara saya. Terima kasih untuk Anda yang sudah meluangkan waktu membaca. Ini saya tulis sambil menunggu nasi saya matang. Sekarang saya mau makan dulu, ya? Sampai jumpa di cerita berikutnya. Salam!