Sekantung Taoge Siang Ujian Kehidupan

Taoge. Siapa tak kenal dia? Ditumbuhkan dari biji kacang hijau yang ditebar merata di media lembab dan disimpan di tempat gelap selama 3-4 hari, taoge banyak diolah menjadi beragam masakan. Sebut saja nasi pecel (traditional stewed mix vegetables with spicy peanut sauce), lontong balap (long rice racing), dan juga tumis-tumisan (fake moustache).

Di pasar tradisional, dan di bakul-bakul mlijo (pedagang sayur keliling —Red.), taoge biasa dijual dalam satuan ons. Satu kantong kresek kecil taoge biasanya memiliki berat sekitar 1 ons.

Mengapa kami katakan “sekitar?” Karena penjual yang terampil, konon, tidak lagi memerlukan timbangan untuk mengetahui berapa berat taoge yang ia ambil. Cukup jumput (Inggris: pinch) beberapa kali dengan ujung jari-jari yang lentik seperti si tukang steak yang mahsyur di Youtube itu, maka taoge yang terambilpun, konon, akan tepat seberat 1 ons. Tapi kalau bobotnya ternyata kurang, protes pun rasa-rasanya percuma. Karena harga taoge seons kan cuma seribu?!

“Halah, kurang sak ler, ae!? Nyoohh!” Wkwkk… ?

(Penafian: Google Translate kami error untuk menerjemahkan kalimat di atas)

Ketika dijual di pasar, taoge hampir selalu masih dalam kondisi mentah. Belum disiangi, apalagi dicuci. “Ekor” (akar yang baru tumbuh —Red.) dan “topi” taogenya (sisa kulit biji kacang hijau yang berwarna hijau —Red.) masih ada. Mengapa? Karena untuk menyiangi taoge membutuhkan waktu dan ketelatenan ekstra!

Kami pernah coba menghitung. Ternyata untuk menyiangi satu buah taoge (memotong ekor dan melepas topinya —Red.) dibutuhkan waktu sekitar 4,8 detik. Seandainya dalam sekantung kecil taoge terdapat setidaknya 600 buah taoge, maka akan dibutuhkan waktu 2.880 detik, atau 48 menit, hanya untuk menyiangi sekantung taoge tersebut. Wow!

Jadi bayangkan saja berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh seorang penjual taoge seandainya ia musti terlebih dahulu menyiangi berkantung-kantung taoge sebelum bisa menjualnya di pasar? Sampai sisa taoge yang belum disiangi sudah tumbuh jadi tanaman kacang hijau siap panen untuk kemudian dijadikan taoge kembalipun rasa-rasanya dia masih juga belum beranjak dari lincaknya (bangku/tempat berjualan di pasar —Red.).

“Taoge gini amat, ya?”

Tapi tahukah Anda bahwa di kampung kami (atau setidaknya di keluarga besar kami —Red.) urusan siang-menyiangi taoge adalah salah satu “mata ujian” wajib ketika seorang perempuan baru resmi diperistri?

Jadi begini ceritanya: ketika seseorang perempuan baru saja resmi dinikahi, dia musti membuktikan “keseriusannya” menjadi istri kepada keluarga suaminya salah satunya dengan cara membuatkan satu masakan berbahan dasar taoge untuk makan siang satu keluarga (kalau bosan dengan taoge bisa juga diganti selada air. Tapi ini lain cerita —Red.). Umumnya yang dimasak adalah sayur tumis-tumisan.

Tapi karena ini adalah “ujian,” maka urusannya tidaklah semudah itu, Marimar! Tahukah Anda apa yang dinilai dari “ujian” ini? Benar sekali: seberapa bersih dia (istri —Red.) menyiangi taoge yang akan dimasak! Apakah topi taogenya sudah dilepas? Apakah ekor taogenya juga sudah dipotong? Serta seberapa banyak sampah yang ia sisihkan dari kegiatannya menyiangi taoge tersebut.

Topi taoge tidak dilepas? Minus 1 poin. Ekor tidak dipotong? Minus 2 poin! Memotong ekornya terlalu panjang dan banyak taoge utuh yang turut terbuang atau justru disembunyikan di balik tumpukan sampah topi dan ekor taoge? Wah, kalau ini, sih, otomatis minus 3 poin!! Huftdess!!

Lalu apa maksud dari “ujian” ini? Begini: seperti yang kita tahu, taoge adalah sayuran yang memiliki ukuran relatif kecil. Sehingga di dalam sekantung taoge bisa jadi terdapat ratusan taoge yang musti disiangi secara manual satu demi satu. Ini membutuhkan ketelatenan, kesabaran, dan keawasan mata. Padahal tanpa perlu disiangipun taoge sudah bisa disantap tanpa ada perbedaan citarasa yang signifikan dengan taoge yang sudah disiangi. Terlalu makan waktu, terlalu makan tenaga, merepotkan.

“Karek ngemplok ae, kok!?” Tinggal lheb!

Tapi ini adalah ujian tentang seberapa telaten diri kita sesungguhnya. Orang yang tidak sabaran tidak akan tahan berlama-lama menyiangi sekantung taoge. Padahal dalam berumah tangga, konon, perjalanannya tidaklah selalu mulus. Bahkan hal sepele yang barangkali tidak disengaja pun bisa memicu perang dunia!

“Empat tahun pertama adalah ujian. Urusan salah meletakkan handuk setelah dipakai mandi pun bisa memicu gegeran!” tutur salah seorang kawan Local Guides yang tidak perlu kami sebutkan namanya.

“Telatenono,” sambungnya. Kami cuma bisa manggut-manggut mendengarkan.

Jadi, yah, itulah uniknya sekantung taoge siang di kampung kami. Selain sebagai bahan masakan yang lezat lagi niqmat, ia juga bisa menjadi semacam tes ketelatenan bagi pasangan pengantin baru.

Kelingking kita berjanji, sekantung taoge jadi saksi. Bahagia 'tuk selamanya…

30 Likes

Mas @iorikun301 toge udah ada mana baksonya ? Di Sukabumi yang paling populer makanan dengan campuran toge adalah bakso ,géhu , lumpia basah pokoknya boroeun uang ka jajan teroooss

2 Likes

Di Malang bakso pake taoge juga ada, kale, Mbak @Nyainurjanah !??

Bakso Sayur UM

Harganya murah, taoge bebas ambil, makannya ngemper di bawah pohon. Piknik :grin: :grin:

Tiga tahun yang lalu teman-teman Malang Local Guides pernah bikin Meet Up di sini. Yang jadi Host @MutiahA sepulangnya dia dari Local Guides Summit 2017. Cc. @RivaniRahmadani @ayun_savitri

3 Likes

Btw kalo taoge goreng itu bukan dari Sukabumi, ya, Mbak @Nyainurjanah ? Pengen nyobain, euy. Kayaknya seger…

2 Likes

Sering denger sih toge goreng mas @iorikun301 tapi belum pernah nyoba di Sukabumi juga mungkin ada sih tapi itu dari Bogor kayaknya mari kita tanyakan ke pak @BudiFXW

2 Likes

Hai @Nyainurjanah dan @iorikun301 .

Ini review saya tentang Toge Goreng pak Abung :

a year ago
Sundaneese heritage dish. Slice of mild fried yellow tofu, slice of rice dumpling wrapped in patat (Phrynioum capitatum) leaf,soybean sprout, yellow noodle boil in metal bronze tray in wooden fire. Plating in Saucer then pouring with fermented soybeans sauce. Salty egg is optional. a unique packaging or take away , put into Phrynium capitatum leaf and strap it with bamboo straps. There is enough space for parking area, but becareful when you do parking because this place is after a long high slope road so cars tend to push their pedals.

3 Likes

Menarik juga, ya, Mbak @Nyainurjanah @ di Sukabumi ternyata jarang yang jual taoge goreng. Padahal jarak Sukabumi-Bogor juga ga jauh-jauh amat.

Kalo saya pernahnya dengar tentang taoge goreng Gebro, Pak @BudiFXW . Itupun karena baca di cerita novel. Belum pernah nyobain langsung. Wkwkk

2 Likes

Mantap pak @BudiFXW kuyy ke Bogor gak usah ajak mas @iorikun301 cukupmakan secara virtual saja ya hahah

2 Likes

Yes, toge goreng pak Gebro is one my favorites food.

I used tuo be to ask the chef to drain the boiling water till it dry, then add more Taucho sausage, on top,

Cover all top with all the taucho sausage.

Eat it with yellow rice crackers.

It is delicious.

Now pak Gebro is the second generation.

Pasar Anyar is the first, then in front of Ngesti supermarket Baranangsiang.

2 Likes

Lho kok jahaaaatt!!?

Mbak @Nyainurjanah bersekongkol sama Pak @BudiFXW iming-iming orang.

Di Malang ga ada taoge pake bumbu tauco. Paling-paling pake petis jadi long rice racing (baca: lontong balab)

1 Like

You are right @iorikun301 .

Taucho can be find only in a blending culture between Chinese and Sundanese.

Cianjur is a welknown city who produce Taucho.

It need a skillful to fermented soya bean to make a taucho.

2 Likes

Oh, iya bener juga, Pak @BudiFXW , @ tauco adanya di masakan Sunda-Tionghoa

Saya pertama kali tahu ada bumbu bernama tauco ketika piknik ke rumah saudara di Cirebon beberapa tahun yang lalu. Wkwkk

1 Like

Yap @iorikun301 .

Di Cirebon juga kental percampuran budaya Cina-Sunda, coba main ke kota kota pesisir seperti Rembang , Lasem atau kota kota lama di pesisir utara Jawa Timur.

Aku suka tuh lihat sejarah peradaban percampuran budaya dari bangsa bangsa di dunia.

2 Likes

Dari dulu saya pengen banget main ke daerah pesisir Utara sana, Pak @BudiFXW . Gara-gara nonton film Ca Bau Kan jadi pengen ke Lasem. Wkwkk…

Tapi daripada jauh-jauh, cukup main-main ke Pasar Atoom Surabaya saja. Kalau di sini cara ngobrolnya yang khas. Bahasa pasar atoom. Wkwkk

1 Like

Kalau mau ke Lasem, pelajari juga batik dan kain dari Lasem, kita bakal lihat budaya dan kepribadian lasem tercermin di kainnya, pemilihan warna yang lembut dan dominannya lengkung dibanding garis patah patah.

Wah kayanya kita musti ketemuan sambil makan bakwan dan ngopi biar bisa cerita Ngalor - Ngidul.

Pasar Atoom, pergeseran budaya nya cepet banget , aku ngga sanggup untuk tracing nya.

1 Like