Lebaran. Seperti apakah suasana lebaran di kampung kami? Selain meriah oleh kehadiran sanak-saudara, tetangga kiri-kanan, hingga tamu-tamu kecil pemburu selembar-dua lembar uang lebaran yang masih bau bank, di atas meja juga tergelar rupa-neka kue-kue lebaran yang komplet muncul setahun sekali.
Maka tersebutlah nastar isi nanas, onde-onde ketawa, semprit sagu, pastel mini isi abon, stik bawang, keripik pisang wedges, kacang atoom, hingga sang legenda rengginang isian kaleng biskuit Khong Guan.
Yang menarik, kue-kue lebaran yang saya sebutkan di atas kebanyakan adalah jenis kue kering berukuran sekali gigit. Bite size. Pemilihan hanya untuk menghidangkan kue-kue semacam ini bukan tanpa alasan.
Yang pertama, kue-kue kering relatif lebih awet disimpan dan dihidangkan di momen perayaan lebaran (yang di kampung kami biasanya berlangsung selama satu minggu —Red.) tanpa rusak atau jamuran. Jadi kalau cuma melempem sedikit, sih, masih bisa dimaafkan. Bukankah lebaran adalah momen untuk kita saling bermaaf-maafan? Ehee…
“Maaf, Bu RT, kuenya agak melempem sedikit. Maklum, kebanyakan dibuka.”
Yang kedua, kue-kue kering semacam ini biasanya kami dapatkan dari bingkisan lebaran. Hampers. Namun tak jarang kue-kue semacam ini kami peroleh dari keikutsertaan kami di arisan kue-kue lebaran. Beberapa bulan sebelum lebaran biasanya ada beberapa pemilik toko kelontong dan pengusaha kue kering yang “bergerilya” ke arisan-arisan ibu-ibu yang ada di kampung.
“Mau, tidak, ikut arisan kue lebaran, bayarnya per bulan sekian, seminggu sebelum lebaran uang arisan akan dicairkan dalam bentuk kue-kue lebaran untuk suguhan?”
Karena skema pembayarannya yang ringan, biasanya banyak ibu-ibu yang ikut arisan kue lebaran semacam ini. Jadi kalau Anda mendapati ada suguhan kue lebaran yang sama antara rumah satu dengan rumah lainnya, patut diduga mereka adalah anggota arisan kue lebaran yang sama.
Alasan ketiga mengapa menghidangkan kue-kue kering berukuran kecil: karena setiap tamu yang datang wajib disuguhi sesuatu (oleh tuan rumah —Red.), dan si tamu wajib menyantap (minimal mencicipi —Red.) apa yang telah disuguhkan si tuan rumah. Ini adalah adab/norma bertamu di kampung kami. Saling menghormati, saling menghargai.
Dan dalam momen anjangsana (silaturahmi dari rumah ke rumah —Red.) ini, rumah kerabat/tetangga yang didatangi bukan cuma satu atau dua rumah saja. Dalam satu hari itu rumah yang kami kunjungi bisa sampai belasan bahkan dua puluhan rumah.
Nah, coba bayangkan kalau di tiap rumah yang dikunjungi kita disuguhi sepiring nasi padang, misalnya, dengan minumnya segelas es teh manis hangat. Bakal jadi sebuncit apa perut kita setelah beranjangsana? Sebuncit perut Teletubbies? Lalu muncul layar televisi di perutnya. A-oo!? Karenanya menyuguhkan kue-kue kering berukuran sekali gigit adalah pilihan yang amat bijak. Ambil dua, dimakan satu, sisanya dibungkus tisu, kalikan dua puluh. Sampai di rumah niscaya Anda akan punya setoples kue nastar ekstra. Cobain, deh!?
Lalu pertanyaannya: apakah dalam beranjangsana, yang disuguhkan hanya kue-kue kering dapat dari arisan? Oh, tentu tidak, Kawan! Dalam beberapa kesempatan hidangan yang disuguhkan justru makanan berat, seperti ketupat, opor ayam, orem-orem, serta telur bumbu petis.
Hanya saja hidangan semacam ini biasanya tidak disuguhkan ke setiap tamu yang datang, bahkan tidak ditata di meja depan. Hanya tamu-tamu berstatus “keluarga sendiri”-lah yang akan langsung dipersilakan masuk ke dapur/ruang makan di bagian dalam/belakang rumah dan meracik sendiri makanannya sepuasnya sesuai selera mereka, bahkan sebelum sempat mereka mencicipi kue-kue kering yang disuguhkan di ruang depan.
“Langsung nang mburi.” Langsung saja ke belakang (dapur/ruang makan —Red.).
Jadi Anda ketika suatu saat kelak berkunjung ke kampung kami dan Anda dipersilakan untuk langsung saja mengambil makanan (berat) di dapur/ruang makan, itu artinya Anda sudah diterima sebagai “keluarga sendiri.” Bolo dewe.
Dan adab ketika Anda dijamu seperti ini adalah Anda wajib tambah. Emboh. Tanduk. Sesuap-dua suap. Ini artinya Anda menghargai cara si empunya rumah menjamu Anda serta mengekspresikan bahwa masakan yang disuguhkan benar-benar enak dan Anda menikmatinya. Tiba-tiba saya teringat keluarga mantan calon mertua saya. Duh!
Jadi demikianlah tradisi dan “kode-kode” rupaneka kue suguhan lebaran di kampung kami. Kalau suatu saat Anda berkunjung ke kampung kami, langsung saja ke belakang, ya? Salam!