Lepet. Di Sunda orang mengenalnya sebagai “leupeut.” Hanya berbeda dua huruf U dari yang ada di kota kami, Lawang, Jawa Timur. Namun kami yakin lepet dan leupeut memiliki rasa dan cara pengucapan yang serupa. You say potato, I say potato, lah ?
Lepet. Di kota kami, bersama ketupat, lontong, dan opor ayam, penganan ini lazim terhidang di hari raya. Tepatnya di hari ketujuh Idul Fitri, atau kami menyebutnya Riyoyo Kupat. Hari Raya Ketupat. Mengapa? Karena penganan ini menyimbolkan saling pemaafan atas kekhilafan di masa lampau dan kini kita sudah kembali bersaudara seperti semula.
Lepet. Penganan ini terbuat dari campuran beras ketan putih, parutan kelapa, dan kacang tolo (Inggris: black eyed peas; tapi black eyed peas yang ini tidak bisa bernyanyi —Red.), yang dibungkus daun kelapa muda/janur, diikat erat oleh tiga ikatan, dan dikukus hingga matang. Karakter rasanya gurih, teksturnya padat, dan, tentu saja, lengket. Kayak perangko.
Lepet. Seperti telah kami sebut di atas, penganan ini merupakan simbol saling pemaafan di hari raya (tradisi umat muslim adalah saling beranjangsana dan maaf-memaafkan di hari raya). Mari kita bahas satu per satu.
Lepet. Dari namanya, konon, ini merupakan keretabasa. Silep kang rapet. Mangga dipun silep ingkang rapet. Mari kita kubur/tutup rapat-rapat. Setelah mengaku salah, meminta maaf, kita kubur segala khilaf yang telah termaafkan. Jangan diulang kekhilafan yang sama, agar persaudaraan kita bisa makin erat, lengket, selengket lepet.
Mringiso, ndek untumu ono klopone, c*k!
Cak. Kami menulis “cak.” Typo.
Lepet. Mari beralih ke bahan pembungkusnya. Janur. Daun kelapa yang masih muda. Janur adalah bahan pembungkus lepet yang asli, yang sekarang karena alasan kepraktisan (baca: murah) saat ini lebih sering diganti dengan daun pisang. Padahal: lepet yang dibungkus janur warnanya lebih putih dan punya aroma yang khas, sedang lepet yang dibungkus daun pisang warnanya menjadi kehijauan. Luntur, guys.
Lepet. Tahukan Anda mengapa janur yang digunakan sebagai pembungkus? Lagi-lagi ini adalah keretabasa. Bakronim. Frasa yang dibentuk untuk mengartikan sebuah kata dengan menganggap kata itu sebagai sebuah akronim (sumber: Wikipedia). Janur. Kata ini berarti sejatine nur (bukan @Nyainurjanah ). Cahaya yang sejati. Fitrah. Back to fitr. Kembali suci. Sama seperti semangat Idul Fitri.
Lepet. Lalu mengapa penganan ini secara spesifik diikat dengan tiga ikatan? Satu di tengah, dua di ujung. Ehehee… kami tidak mau cerita. Yang jelas ini merupakan simbolisasi pesan bahwa agar kekhilafan yang terjadi tidaklah perlu diperpanjang hingga menjadi dendam yang dibawa sampai… ya, itu. Mangkanya cara menyantap lepet adalah dengan membuka ketiga ikatan dan janur pembungkusnya agar supaya… ya, itu ?
Lepet. Bicara bahan pembuatnya, lepet terbuat dari campuran beras ketan putih, parutan kelapa, dan kacang tolo (where is the love?). Perhatikan komposisinya: beras ketan putih warnanya putih sedikit kekuningan (Jawa: mangkak —Red.) dan jumlahnya banyak/dominan; kelapa parut warnanya putih bersih dan jumlahnya tidak terlalu banyak; dan kacang tolo warnanya kehitaman dan jumlahnya sedikit. Artinya apa?
Konon, dari apa yang pernah diceritakan kepada kami, manusia itu pada dasarnya baik. Namun selazimnya manusia, kadang ia juga berbuat kesalahan. Kekhilafan. Tak sengaja menginjak kaki seseorang. Tapi jauh di dasar hatinya, sesungguhnya masihlah ada cahaya kebajikan. Maafkan. Saling memaafkan. Gitu.
Lepet. Kini penganan ini bisa dengan mudah didapat. Tidak melulu terhidang di hari raya. Pun bahan pembungkusnya sudah banyak yang menggunakan daun pisang bukan lagi daun kelapa muda. Di bakul kue di pasar tradisional dekat rumah kami penganan ini dibandrol 5 ribu rupiah per 3 buah lepet. Cukup murah dan mengenyangkan sebagai kudapan.
Apabila Anda kebetulan pelesiran ke kota kecil kami, jangan lupa cobain penganan yang namanya lepet ini. Biar nanti kami bisa berkata: “Mringiso, ndek untumu ono klopone, Cak!”
Tuh, kan? ?