William Shakespeare menulis dalam salah satu karyanya: “Apalah arti sebuah nama? Engkau sebut setangkai mawar dalam nama berbedapun ia akan tetap sama harumnya.” (William Shakespeare - “Romeo and Juliet”). Sama halnya seperti kudapan yang hendak kami perkenalkan ini: tahu brontak. The rebelious tofu.
Hmm, apakah rasanya memang segarang namanya? Ataukah kita musti mencarikan nama yang berbeda untuknya? Inilah HIKAYAT NIQMAT SI TAHU BRONTAK! Rawrr!!
———————
Di tempat kami, Ilakojer, tempe dan tahu goreng adalah lauk wajib. Ia harus selalu ada dalam setiap kesempatan bersantap. Mau makan pakai steak, spaghetti, pokoknya kebarat-baratan (yang) jelas nggak cukup kalau bawa duit ceban*, kalau tempe dan/atau tahu goreng belum terhidang di meja, rasa-rasanya masih ada yang kurang. Kenikmatan bersantap jadi kurang paripurna.
“Seperti Ind*mie pakai nasi, makan pakai lauk tempe dan tahu adalah wajib hukumnya,” ujar kami.
Tapi apakah kebiasaan unik semacam ini hanya ada di daerah tempat tinggal kami di Ilakojer, Jawa Timur? Kami telah melakukan riset kecil-kecilan pada kebiasaan masyarakat Sunda.
Menurut informan kami, Mbak @Nyainurjanah , sebetulnya tidak ada lauk wajib yang spesifik yang musti tersedia di tiap kesempatan bersantap. Tapi biasanya lauk yang sering tersedia adalah sambal, ikan asin, dan lalap/sayur-sayuran mentah. Namun dalam beberapa kesempatan juga tersedia lauk hati.
“Makan hati juga enak banget, tapi jangan dibaperin saja,” katanya seraya tertawa.
…
Tentang ini kami no-comment, deh…
Kembali ke soal tempe dan tahu sahabat kami. Kadangkala kami memasak lauk tempe dan tahunya terlalu banyak. Dan tempe dan tahu goreng sisa ini kami goreng lagi untuk lauk bersantap selanjutnya.
Nah, khusus untuk lauk tahu, tahu yang sudah digoreng berulang-ulang bagian luarnya akan makin renyah sementara bagian dalamnya akan makin berongga. Tahu goreng berongga semacam ini kami beri nama “tahu kopong.” The hollow tofu.
Pertanyaannya kemudian: “Emang kenyang cuma makan angin?”
Kenyang enggak, kembung iya!
Menyadari hal tersebut, kamipun putar otak. Kami mencari sesuatu yang mampu mengisi lubang ini. Apakah itu cinta? Apakah itu cita, yang akan mengisi lubang di dalam tahu?**
Ternyata jawabannya adalah: bihun goreng (yang kami duga bihun goreng ini awalnya juga makanan sisa semalam). Kami mengisi rongga kosong tahu kopongnya dengan bihun goreng penuh-penuh, yang kemudian kami celupkan ke dalam adonan tepung dan digoreng dalam minyak banyak hingga matang keemasan.
Nah, kadangkala karena kami terlalu penuh memasukkan bihun goreng ke dalam tahu kopongnya, ketika digoreng kulit tahu kopongnya tak jarang pecah dan bihun isiannyapun berhamburan mengotori minyak di penggorengan, seolah si bihunnya memberontak tidak ingin berada di dalam tahu. Dari sinilah, konon, tahu kopong isi bihun ini memperoleh namanya: tahu brontak. Tahu yang (isinya) memberontak. Njebrot pating pecotot.
By default, isi tahu brontak adalah bihun goreng, kadang ditambah dengan sedikit wortel yang dipotong korek api, dan disantap dengan cocolan saus petis dan lalap cabe rawit. Namun karena perkembangan jaman, selera konsumenpun berubah. Kalau selama ini mereka sudah cukup puas dengan tahu brontak isi bihun goreng, dan petis, sekarang mereka menuntut inovasi baru.
Kebetulan di daerah kami, Ilakojer, penganan olahan jamur sedang menjadi hits. Tak ingin ketinggalan tren, si penjual tahu brontakpun mulai coba-coba mengganti isi tahu brontak dengan tumisan jamur pedas. Dan ternyata: NIQMAATTT!!!
Tekstur kulit tahu kopong yang garing dan renyah di luar, berpadu dengan tumisan jamur yang kenyal dan pedas di dalam, ternyata cocok sekali! Petualangan rasa yang sama sekali berbeda dengan tahu brontak isi bihun yang selama ini dikenal konsumen.
Tak butuh waktu lama, kreasi tahu brontak trendy isi tumis jamur pedas inipun menjadi hits di mana-mana. Saus petis disisihkan, harga disesuaikan. Dibanding tahu brontak isi bihun, tahu brontak isi tumis jamur pedas ini dibandrol harga 50 persen lebih tinggi. Namun tahu brontak jamur ini tetap laris-manis bak kacang goreng. Luar biasa, bukan?
Jadi begitulah hikayat niqmat si tahu brontak. Dari yang semula kudapan sederhana untuk mensiasati bahan-bahan makanan sisa daripada mubazir dikasihkan ayam, sekarang menjadi hidangan trendy yang laris-manis di mana-mana.
Hmm, kayaknya nanti buka puasa pakai tahu brontak isi nasi enak, nih, Mbak @Nyainurjanah ? ?
Bye!
———————
*) “Borju.” Cipt. Abe, Iwang Noorsaid, dipopulerkan oleh NEO (1999)
**) “Lubang di Hati.” Cipt. Letto, dipopulerkan oleh Letto (2009)