Gorengan Buah Sukun

“Pak Kebun, Pak Kebun,
Lekas turun, lekas turun.
Lekas goreng itu sukun!”

Halo, apa kabar?

Saya sedang menggoreng buah sukun (Inggris: breadfruit) ketika tiba-tiba saya teringat sebuah cerita pendek anak-anak yang pernah saya baca di sebuah buku entah berapa tahun yang lalu. Tentang buah sukun, Pak Kebun, dan anak-anak sekolah. Saya ingat saya punya bukunya, saya ingat seperti apa sampulnya, tapi saya tidak ingat di mana saya menyimpannya.

Setelah gorengan sukun saya matang, saya pun segera membongkar tumpukan buku-buku cerita koleksi pribadi saya. Ah, ketemu! Cerita “Pak Kebun, Gorengkan Sukun” dalam buku kumpulan cerita pendek anak “Orang-orang Tercinta” karya Soekanto SA (Penerbit Buku Kompas, 2006). Pak Kebun dalam cerita ini dan saya sama-sama sedang menggoreng buah sukun.

Bagi yang belum tahu, “Pak Kebun” (atau Pak Bon) adalah sebutan untuk seorang pegawai sekolah yang bertugas sebagai tukang kebun, merangkap penjaga sekolah, dan tinggal di sebuah rumah kecil sederhana di area sekolah bersama keluarganya. Terkadang ia juga bertanam sayuran dan palawija di lahan kosong sekolah serta membuka kantin jajanan kecil murah untuk nafkah tambahan keluarga. Profesi ini populer di Indonesia hingga era '90-an.

Di kampung saya, Lawang, Jawa Timur, sukun adalah buah yang amat populer. Pohonnya biasa tumbuh liar di dekat sungai atau pekarangan rumah tetangga. Buahnya berbentuk bulat seukuran buah melon. Kulitnya hijau dan kasar, bergetah, dan daging buahnya berserat. Dan ketika dicium…, hmm…, ngapain? Ngga usah, lah.

Buah sukun tidak bisa dimakan langsung. Melainkan harus dimasak terlebih dahulu. Bisa dikukus, dikolak, atau digoreng seperti yang saya lakukan di sini. Buah sukun yang dipilih biasanya yang masih setengah matang. Karena buah yang masih mentah rasanya cukup hambar, sementara buah sukun yang sudah masak teksturnya menjadi sangat lembek dengan rasa fermentasi alami buah yang cukup kuat.

Untuk menggoreng buah sukun, adonan yang saya gunakan di sini hanya terdiri dari tepung terigu, sedikit gula dan garam untuk perasa, telur, dan air dingin secukupnya, lalu saya aduk merata. Minimalis, selain untuk tetap bisa memunculkan rasa khas sukun, juga karena di dapur adanya cuma itu. Saya belum belanja.

Buah sukun yang saya beli di pasar tradisional dekat rumah saya potong-potong kecil sesuai selera saya dan saya celupkan ke dalam adonan tepung lalu saya goreng di dalam minyak banyak (deep fried). Setelah matang kuning keemasan, gorengan sukun saya angkat dan tiriskan. Jangan buru-buru dimakan karena lidahmu bisa mloncot (terbakar —Red.)!

Untuk menyantap gorengan sukun Anda tidak membutuhkan alat makan tertentu seperti sendok dan garpu. Bisa langsung digigit atau disobek-sobek dengan tangan. Adonan kulitnya renyah, sementara buah sukunnya jadi amat lembut dan nampak berserat mirip buah nangka atau cempedak. Dan aromanyaa…, menguar harum sekali. Dan khas! Kendati memang aromanya tidak setajam nangka, durian, apalagi cempedak. Berarti buah sukun yang saya pilih ini memiliki tingkat kematangan yang pas.

Pelan-pelan gorengan sukunnya saya masukkan ke dalam mulut. Sama seperti yang terlihat ketika disobek dengan tangan kosong, tekstur buah sukunnya betulan lembut. Seperti menggigit roti yang lembut, padat, dan lembab. Breadfruit. Buah roti. Pantas saja.

Cita rasa buah sukun goreng yang dominan di lidah adalah rasa yang manis dengan sedikit rasa asam. Khas rasa fermentasi alami buah. Kalau buah sukun yang dipilih terlalu masak, rasa asamnya juga menjadi jauh lebih kuat. Untuk menetralisir rasa yang terlalu kuat, biasanya buah sukun goreng disantap dengan teh tawar hangat atau secangkir kopi hitam tanpa gula. Saatnya bilang: Sempurna…

Ingin mencoba buah sukun goreng? Anda bisa dapatkan penganan ini di nyaris semua warung gorengan di kampung saya Lawang, Jawa Timur. Sepotong sukun goreng biasa dibandrol seribu rupiah. Anda tak perlu mencari terlebih dahulu yang mana yang namanya Pak Kebun itu.

Terima kasih sudah membaca. Lain kali kita cerita-cerita lagi. Salam!

———————
TRIVIA:
Buah sukun pernah disebut dalam salah satu novel petualangan fiksi ilmiah klasik dunia “20,000 Leagues Under the Seas: A World Tour Underwater” karangan Jules Verne (1870).

9 Likes

Jadi pengen mencicipi nyaa…sukun ala @iorikun301

1 Like

Hehee… silakan, Kak @Laffina

Tapi beli sukun goreng lebih praktis, sih. Sambil ngobrol. Hehee… :grinning: :grinning: