Hijau terhampar luas di depan mata. Padi yang baru ditanam terlihat basah karena hujan baru saja mengguyur. Wangi tanah basah masih tercium. Aroma khas setelah hujan datang. Angin dingin membuat daun bambu bersuara dalam hening. Di ujung sana kodok sawah juga tak mau kalah bersahutan di antara gemericiknya air sungai di samping saung bambu, tempat saya duduk saat ini. Awan kelabu sudah bergeser menjauh. Langit sudah mulai terlihat putih bersih. Saatnya saya bersiap. Bersiap mengambil gambar di tengah keheningan sore kemarin.
Kalau Anda butuh yang hijau-hijau untuk menyegarkan mata, lokasi ini bisa menjadi obat manjur penghilang sakit kepala, pelipur rindu kampung halaman. Saat masuk ke lokasi ini, jalanan berundak bebatuan yang disusun, dinding batu berlumut basah serta sebaran saung bambu di antara pematang sawah dan ladang bengkoang, menjadi pemandangan indah. Belum lagi tampak kokoh gunung Salak sebagai latar pemandangannya. Di sebelah kanan jalan tampak dua saung yang menghadap sawah nan hijau, sedangkan di kiri jalan, saung bambu beratap ilalang seolah mengapung di atas kolam besar. Ditemani aliran kali kecil, saya pun berjalan menyusuri jalan berbatu antar saung. Semua bermuara pada beberapa kolam besar dengan melati air dan dua ekor angsa putih sebagai penghiasnya. Ujung jalan kian menanjak, saya menemukan banyak sekali pohon majapahit yang sedang berbuah. Konon, buah ini digunakan sebagai gayung mandi para putri raja karena memiliki tempurung buah yang besar lagi kokoh. Buah ini tidak bisa dimakan namun akar dan daunnya bisa dimanfaatkan sebagai obat herbal kulit.
Bergeser sedikit ke arah utara, saya menemukan playground dan lapangan kecil. Jungkat jungkit dari kayu, ayunan dan area panahan, siap menemani hari saya di sini. Pohon cerry berbatang kayu, tinggi lagi rindang, memayungi saya dari sisa hujan sore itu. Naik sedikit dari playground ini, saya menemukan lapangan bebas pandang. Ladang bengkuang yang dipagari pohon rambutan yang sedang ranum dan pohon mengkudu menjadi batas ujungnya.
Saung bambu menghadap gunung salak menjadi pilihan saya. Namun siang itu, hujan datang kembali, membuat saung ini basah hingga ke tengah meja. Saya pindah, memilih saung di atas kolam. Selain aman dari sentuhan hujan, saung ini terkesan lebih private karena tertutup di seluruh sisi dengan beberapa bilah bambu dan kaca.
Menu makanan sudah tersedia di atas meja bambu. Karena berada di tanah sunda, maka menu yang disediakan pun tak jauh dari menu sunda-an. Mulai dari tutut kuah kari, oncom hitam, nasi tutug, tumis genjer sampai pada sop batok nila. Aneka minuman berbahasa sunda pun tersedia, saya tidak bisa mengingat nama-nama uniknya. Dan siang itu, tumis genjer pedas, sop nila dan es goyobod menjadi pilihan saya. Sop nila disajikan dengan batok kelapa muda, masih lengkap dengan daging kelapanya, menjadi wadah sop fillet ikan nila. Rasanya? jangan ditanya, nikmat tiada tara. Untuk harga? Sesuai lah sama pemandangan, rasa serta menu yang ditawarkan.
Resto bukit air, resto yang berada di Ciomas kabupaten Bogor ini memberikan warna baru bagi pecinta kuliner Indonesia. Tak hanya menawarkan view gunung dan sawah nan hijau, aneka makanan khas sunda, menjadi daya tarik tersendiri bagi penikmat kuliner. Jadi, kapan mau mengajak keluarga ke resto Bukit Air?