Bakso tak bisa dilepaskan dari kota Malang, Jawa Timur. Ketika ada yang menjuluki kota Malang sebagai kota apel, atau Malang kota bunga, bahkan negeri Swiss di Jawa Timur, maka jangan kaget jika ada juga yang menjuluki kota ini sebagai kota seribu bakso.
Betapa tidak, di kota ini bakso mudah dijumpai. Dari gerobak sederhana tepi jalan raya hingga rumah-rumah makan mewah dengan spesialisasi kuliner bakso. Dari yang seharga sepuluh ribuan kenyang, hingga yang lima puluh ribu satu porsi ternyata masih kurang. Dari yang terbuat hanya dari tepung kanji, hingga bakso isi daging wagyu cincang pun ada di kota ini.
Ibarat kata: sak njalukmu, tak duduhi (Jw: ingin bakso yang seperti apa, saya tunjukkan tempatnya).
Seperti misalnya bakso yang saya santap sebagai snack penunda lapar di siang ini. Bakso daging sapi campur warung Bakso Kraton Pakis cabang Karangploso (https://maps.app.goo.gl/ixSWCFYbCJ4zkH6N9 Harganya Rp15.000,- satu porsi. Lumayan.
Satu porsi berisi satu bakso besar, satu bakso kecil, satu siomay rebus, satu siomay goreng, satu bihun putih, dua tahu goreng, dan ekstra sayuran biar sehat.
Bakso dan ubo-rampenya (lauk pelengkap —Red.) ini kemudian disiram dengan kuah kaldu sapi sampai tumpah-tumpah (iya, menu yang saya pesan ini porsinya memang besar, nyaris satu mangkok penuh, dengan hanya menyisakan sedikit ruang untuk kuahnya).
Kuah kaldu sapinya juga cenderung bening dan tidak terlampu pekat rasanya kendati masih tetap gurih di lidah. Dan ketika dicicip, hmm, enaakk!! Kuahnya juga tidak sampai meninggalkan after-taste yang kurang nyaman (Jw: ngendal —Red.). Baguuss!!
Biasanya kata “bakso” dipadankan dengan kata “meatball”; bola-bola daging. Namun ini tidaklah tepat benar. Karena meatball (bola-bola daging) terbuat dari daging yang dicacah/dicincang halus dan dibulatkan begitu saja, sementara bakso terbuat dari daging yang digiling halus (jauh lebih halus nyaris bertekstur seperti pasta) dan diberi tambahan tepung sebagai bahan pengenyal.
Pun bola-bola daging umumnya disajikan dengan siraman kuah kental, sementara bakso dihidangkan dengan kuah kaldu yang lebih encer.
(Info orang dalam: beberapa penjual bakso kadang malah sama sekali tidak menggunakan kaldu sapi untuk kuahnya. Ia hanya menggunakan bawang putih goreng yang dihancurkan dan dimasukkan ke dalam air yang sudah mendidih. Setelah ditambah garam sesuai selera, maka jadilah kuah bakso yang gurih dan menggoda selera)
Sembari menandaskan semangkuk bakso di hadapan, saya sempat berpikir: mengapa, ya, di kota Malang ini ada banyak sekali penjual bakso? Coba Anda buka aplikasi Google Maps di gawai Anda dan ketikkan kata “bakso” di kolom pencarian. Niscaya layar peta Anda akan dipenuhi ikon-ikon pin berwarna merah yang menunjukkan lokasi warung-warung bakso di sekitar Anda. Dan itu banyak!
Lalu sayapun teringat, kota Malang merupakan kota di dataran tinggi yang dikelilingi pegunungan. Beriklim monsun tropis dengan rata-rata suhu udara harian berkisar antara 22°-24° Celcius. Cukup sejuk untuk nyaman meringkuk di balik selimut.
Oleh sebab itu, barangkali, diciptakanlah sebuah hidangan populer berkuah hangat yang referensinya kekayaan kuliner Tionghoa dan Hindia Belanda, yakni bakso seperti yang kita kenal selama ini, untuk sekadar menghangatkan tubuh biar tidak selimutan seharian.
Updating Media
Maka masuk akallah jika di kota ini banyak kita jumpai warung bakso.
Menjawab polemik: apakah bakso ini kemudian masih tepat untuk disebut sebagai camilan/snack/kudapan ringan, sementara menghabiskan satumangkuk bakso bisa cukup mengenyangkan?
Oh, tentu saja! Bakso sejatinya tetaplah snack. Tengok definisi berikut: snack adalah makanan yang bukan merupakan menu utama. Ini adalah makanan pengganjal perut sekadar penunda rasa lapar.
Lagipula bagi banyak orang Jawa seperti saya: belum bisa disebut makan kalau belum makan nasi. Jadi, jelas, ya, kalau bakso adalah camilan/snack/kudapan ringan, selama ia dimakan tidak pakai nasi? ?
Updating Media